Bandung, jalosi.net - “ Intelijen dalam perspektif ilmu, saat ini sudah banyak dipelajari oleh berbagai kalangan. Tidak hanya militer atau kepolisian saja, tetapi juga banyak diterapkan di berbagai bidang sesuai dengan kepentingan dan ruang geraknya masing – masing. Termasuk di bidang bisnis, ada yang namanya bussines intelligence, atau di bidang ekonomi ada yang namanya intelijen ekonomi, intelijen keuangan, dan lain – lain. Oleh sebab itu ruang lingkup pengorganisasian intelijen pada umumnya ada yang namanya intelijen politik, intelijen sosial budaya, intelijen ekonomi, intelijen dalam negeri, intelijen luar negeri, dan sebagainya “, ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Bandung, Rabu (22/11).
Menurutnya, dari sekian banyak kegiatan intelijen, ada yang namanya Pembinaan dan Penggalangan (Bin-Gal). Dalam literasi yang lain cukup disebut Penggalangan (Gal) saja, karena pembinaan dianggap bagian atau tindak lanjut dari proses penggalangan. Penggalangan intelijen pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas atau metode yang dilakukan untuk memengaruhi target agar dapat mengubah Emosi, Sikap, Tingkah laku, Opini, dan Motivasi (ESTOM) dari target tersebut. Tujuan dilakukannya penggalangan adalah untuk menciptakan suatu kondisi tertentu yang terarah dan terukur sehingga target dapat melakukan apa yang dikehendaki oleh penggalang.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa ada tiga strategi penggalangan yang harus dilakukan agar rencana dapat berjalan lancar, yaitu :
1. Win the heart and the mind of the target
2. Bring the target to our direction
3. Menciptakan situasi yang kondusif.
Target yang dituju dalam melakukan penggalangan ada 3 kelompok seperti, kelompok lawan yang menentang tujuan dari penggalang, kelompok netral yang tidak menentang dan tidak mendukung, dan kelompok sekutu yang mendukung supaya tidak terpengaruhi oleh kelompok lawan. Penggalangan intelijen yang dilakukan secara lunak menggunakan cara persuasif untuk menanamkan pemahaman baru kepada target (dialog, silaturahmi, seminar, workshop), memberikan bantuan secara materi kepada target, dan melakukan kegiatan propaganda. Sarana penggalangannya mencakup pada pola, teknik, dan taktik penggalangan.
Kemudian ia juga menguraikan terkait pola penggalangan untuk membuat target mau untuk mengikuti kehendak dari penggalang. Pola yang dilakukan ada dua, yaitu pola peruasif (bersifat membina, mendampingi, mengembangkan) dan pola koersif (bersifat menceraiberaikan, melemahkan, dan mengadu domba sasaran). Adapun teknik penggalangan terbagi menjadi tiga antara lain Perang Urat Syaraf (PUS), Propaganda, dan Sabotase.
Perang Urat Syaraf (PUS) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memengaruhi ESTOM lawan. Propaganda adalah komunikasi yang dilakukan secara sengaja untuk memengaruhi tingkah laku lawan. Sabotase adalah kegiatan yang bertujuan untuk merusak dan menghancurkan sasaran berupa instalasi, infrastruktur, dan lain-lain. Teknik dalam melakukan penggalangan terdiri dari gerakan menarik, menekan, memutar balik, memecah belah, dan mengadu domba. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penggalangan intelijen adalah dengan pendekatan RASCLS dan MICE. Pendekatan RASCLS dan MICE dipopulerkan oleh Robert Cialdini dan Randy Burkett.
RASCLS dan MICE merupakan akronim dari Reiprocation, Authority, Scarcity, Commitment, Liking, Social Proof dan Money, Ideology, Coercion, Ego. Kunci utama dalam melakukan mendekatan RASCLS dan MICE yaitu pada penguasaaan motif dan psikologi lawan. Pendekatan ini lebih menekankan pada prinsip-prinsip persuasif, dan hati ke hati karena yang akan dikendalikan adalah ESTOM lawan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan PEMBINAAN dalam berbagai bentuk dan program, misalnya pembinaan usaha, keterampilan, dan sebagainya. Konsep dasarnya sesuai dengan teori 3N (Needs, Narratives, Networks). Needs adalah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup. Pembinaan usaha memiliki tujuan untuk membantu membina dan mendampingi ‘target’ dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah itu Narratives, yaitu memperluas literasi target. Jadi setelah apa yang dibutuhkan terpenuhi, mulai jauhkan dari narasi dan bacaan mengenai pemahaman lamanya. Terakhir adalah networks, dimana ‘target’ harus dijauhkan dari jaringannya.
Dalam melakukan pembinaan, dibutuhkan wawasan yang luas, ketekunan dan kesabaran. Bukan hanya membuka pengetahuan, tapi juga merubah mindset. Pola fikir yang konstruktif dibangun dengan landasan semangat pantang menyerah. Model – model pendampingan, silaturahmi, anjangsana, gathering, dan sebagainya perlu terus dilakukan secara intens dan berkesinambungan. Persoalan biasanya akan bermuara pada anggaran yang tersedia kadangkala tidak memadai untuk mendukung berbagai program tersebut.
“ Oleh karenanya basis pengembangan program berorientasi pada ‘Low Cost, High Impact’. Artinya dengan menggunakan anggaran yang kecil tetapi memiliki dampak yang besar. Modelnya bisa mengembangkan kerjasama dengan instansi terkait. Kemudian sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan agar terbangun hubungan emosional yang dekat, atau disebut Kohesi Sosial. Dengan kohesi sosial yang baik, maka sifat tepo seliro, tenggang rasa dan toleransi akan terbangun lebih tinggi “, pungkas Dede. (R/ist/dfa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar