Jakarta, jalosi.net - Seiring perubahan zaman yang terus bergulir, aspek teknologi mengalami loncatan pesat yang mempengaruhi perubahan peradaban dan budaya masyarakat. Hak dan kewajiban antara warga negara dan Pemerintah menjadi hubungan timbal balik yang harus diperhatikan dengan sungguh – sungguh oleh semua pihak. Ada hak negara (Pemerintah) untuk memungut pajak dari warga negaranya, sekaligus menjadi kewajiban warga negara untuk melakukan pembayaran tepat waktu dan tepat nominal sesuai dengan aturan yang berlaku. Begitupun sebaliknya, ada hak warga untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dari Pemerintah, sekaligus menjadi kewajiban Pemerintah melalui seluruh aparaturnya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Hubungan timbal balik ini akan sangat terkait satu sama lain jika berlandaskan kesamaan persepsi dalam membangun pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu didalamnya akan sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM-nya, baik kualitas pengetahuan, kualitas moral serta kualitas integritas. Tanpa diimbangi oleh semua itu, pelayanan akan dijadikan instrumen untuk menjadi “celah” pelanggaran bagi oknum tertentu. Baik oknum aparatur maupun oknum warga negara.
Jika berbicara pelayanan publik yang merupakan hak konstitusi warga, sesungguhnya telah diatur dengan tegas dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Namun demikian yang sering menjadi persoalan adalah masalah – masalah teknis dan prinsipil di lapangan. Bagaimana seharusnya aparatur berfikir dan bertindak agar setiap warganya tidak sungkan atau males jika harus menguruskan sesuatu di instansinya. Aparatur memiliki kewajiban untuk memberi kemudahan pada warganya, jangan sebaliknya terkesan berbelit – belit atau terlalu panjang rantai birokrasinya. Membangun sistem dan desain pelayanan yang praktis dan sederhana, serta diimbangi dengan pelayanan yang nyaman dan ramah tentu akan menjadi impian setiap warga negaranya. Inilah mimpinya warga yang harus diwujudkan dalam ruang realitas oleh seluruh aparatur pemerintahan. Mungkin bisa dianggap sulit, atau bisa juga dianggap sederhana mewujudkan mimpi menjadi sebuah kenyataan.
Masalah – masalah fundamental terkait pelayanan publik yang masih sering dikeluhkan warga adalah buruknya kualitas produk layanan publik, rendahnya/ketiadaan akses layanan publik bagi kelompok rentan (miskin, penyandang cacat), kualitas penyelenggaraan pelayanan publik, dan ketidakjelasan mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa. Keempat masalah fundamental ini, menjadi dasar lahirnya pemikiran “New Publik Service” dan “Good Governance”. Guna menunjang efektifitas dalam implementasinya, dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa model seperti model citizen’s charter, model KYC (Know Your Customer), dan model m-Government. Dengan rumusan desain model tersebut, diharapkan keluhan pelayanan seperti dianggap berbelit-belit, lambat, biaya yang tidak jelas, ketidakpastian waktu dan sebagainya tentu akan dinilai sebagai proses yang sangat melelahkan dan menjemukan. Itulah sebabnya jika sebagian masyarakat sering merasa males jika harus berhubungan dengan pelayanan aparatur.
Padahal semua sudah tahu bahwa perbaikan pelayanan publik mampu memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini, terutama di tengah situasi resesi atau krisis ekonomi yang sedang melanda dunia sebagai akibat pandemi covid 19. Aktivitas ekonomi masyarakat harus segera berangsur – angsur pulih, jika iklim investasi sangat menunjang untuk itu. Di sinilah kunci permasalah agar secara bersama – sama memperbaiki pelayanan publik agar gairah investasi dan roda ekonomi bisa terus berjalan. Apalagi infrastruktur teknologi pada dasarnya sangat menunjang untuk membangun sistem pelayanan publik yang baik, terbuka, transparan dan akuntabel.
Merujuk pada Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik diartikan segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Begitupun dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan pengertian pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Kemudian merujuk pada teori The Five Strategies for Reinventing Government yang disampaikan oleh Osborne dan Plastrik, lahirlah pararadigma “New Public Management”, yang menekankan pada pemerintah atau birokrat yang harus memberikan pelayanan terbaik pada masyarakatnya. Masyarakat diberdayakan agar turut serta mengawasi atau mengontrol pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, New Public Management dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi moderen.
Di samping itu, UNDP menggunakan istilah Good Governance yang bercirikan, (1) Participation, dimana setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan baik langsung atau melalui perantara institusi yang mewakili kepentingannya, (2) Rule of law, dimana aturan hukum harus adil dan ditegakkan tanpa pandang bulu, (3) Transparancy, dimana keterbukaan harus dibangun di atas aliran informasi yang bebas, (4) Responsiveness, dimana institusi- institusi dan proses yang ada harus diarahkan untuk melayani para stakeholders, (5) Consensus orientation, dimana harus ada proses mediasi untuk sampai kepada konsensus umum yang didasarkan didasarkan pada kebijakan dan prosedur, (6) Equity, dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki dan mempertahankan kesejahteraannya, (7) Effectiveness and efficiency, dimana proses dan institusi-institusi yang ada sedapat mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pemafaatan terbaik terhadap sumber daya-sumber daya yang ada, (8) Accountability, dimana para pengambil keputusan di instansi pemerintah, sektor publik dan organisasi masyarakat madani harus mampu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan dan diputuskannya kepada publik sekaligus kepada para pemangku kepentingan, dan (9) Strategic vision, dimana para pemimpin dan masyarakat harus memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang terhadap pembangunan manusia, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, dan kompleksitas sosial budaya.
Jika rumusan new public management dan good governance ini bisa diterapkan dengan baik, maka kepuasan masyarakat atas jasa layanan publik dari aparaturnya akan tercapai. Memang tidak bisa dilakukan seperti membalikan telapak tangan, tetapi harus didasari pada niat dan itikad yang kuat dari seluruh aparaturnya bahwa melayani masyarakat adalah kewajiban mereka. Mereka adalah pelayan masyarakat, dan untuk itulah negara memberikan gaji agar mereka selalu memberikan pelayanan yang terbaik buat masyarakatnya. Usaha untuk melakukan perbaikan ini harus terus menerus dilakukan dan jangan pernah merasa bosan, jemu apalagi putus asa. Bekerja memberikan pelayanan yang terbaik buat masyarakat tidak sekedar kewajiban untuk mendapatkan gaji bulanan, tetapi lebih dari itu jika dilakukan dengan ikhlas maka akan menjadi ladang amal ibadah yang membawa keberkahan dalam hidupnya. Aamiin.
(R/oleh/Dede Farhan Aulawi/Pemerhati Layanan Publik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar