Pekalongan, jalosi.net - Masalah korupsi selalu menarik untuk dibicarakan, dibahas dan didiskusikan. Hal ini terlihat betapa banyak organisasi yang membahasnya dengan semangat untuk membantu Pemerintah ataupun KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan tidak sedikit organisasi yang sudah muak dengan perilaku koruptif sehingga ingin menerapkan pasal hukuman mati bagi pelakunya. Hal ini tentu bisa dipahami karena dampak yang ditimbulkannya sangat besar sekali. Bukan saja pada kerugian uang negara semata, tetapi juga berimplikasi pada jauhnya pencapaian kesejahteraan bagi masyarakat. Demikian disampaikan oleh Pembina GNPK RI Dede Farhan Aulawi di Pekalongan, Kamis (27/8/2020).
Kemudian Dede juga menjelaskan tentang definisi korupsi dengan merujuk pada 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”). Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh bentuk tersebut kemudian dapat disederhanakan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi
Sementara itu dengan merujuk data yang ada di KPK, terdapat 18 modus tindak pidana korupsi yang selama ini paling sering dilakukan, yaitu yang pertama Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala daereah mengintervensi proses pengadaan barang/jasa dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.
Kedua, Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervemnsi proses pengadaan barang/jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up). Ketiga, Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau sepesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak. Keempat, Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.
Kelima, Kepala daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana untuk kepentingan pribadi si pejabat yang bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif. Keenam, Kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan yang lebih tinggi, namun sudah tidak berlaku lagi. Ketujuh, Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta meninggikan harga asset milik pengusaha.
Kedelapan, Kepala daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek. Kesembilan, Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan. Kesepuluh, Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur. Kesebelas, Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank.
Keduabelas, Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ketigabelas, Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya. Keempatbelas, Kepala daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan harga yang sudah di-mark up.
Kelimabelas, Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya menggunakan anggaran daerah. Keenambelas, Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusasn DAK atau DAU. Ketujuhbelas, Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusnan APBD. Kedelapanbelas, Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.
Begitulah 18 modus perilaku korup atau tindak pidana korupsi yang sering terjadi, sehingga mendapat perhatian besar dari aparat penegak hukum untuk mencegahnya. Disamping itu tentu juga diperlukan partisipasi dari masyarakat dalam melakukan pengawasan, sehingga tindakan koruptip bisa diberantas dan dicegah. Tapi tentu jangan melupakan bahwa penindakan merupakan wilayah aparat penegak hukum, sementara partisipasi masyarakat dalam wilayah pencegahan, atau bisa juga turut aktif melaporkan pada aparat penegak hukum jika mengetahui adanya perbuatan melawan hokum berupa tindak pidana korupsi ini. Patut diingat dan direnungi bersama, bahwa korupsi menimbulkan risiko yang sangat tinggi bagi gagalnya pembangunan nasional, terganggunya ekonomi nasional, serta kerugian keuangan negara yang dapat menimbulkan kesengsaraan masyarakat luas. Pungkas Dede mengakhiri uraian pendapatnya. (R/er/dfa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar