Bandung, jalosi.net - “Wilayah perairan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan meningkatkan peran alur laut kepulauan sebagai sarana transportasi, baik transportasi barang maupun transportasi orang. Termasuk kapal – kapal penangkap ikan, kapal pesiar, dan kapal lainnya yang akan semakin meramaikan jalur transportasi perairan, baik laut, sungai maupun danau. Di saat yang bersamaan isu – isu terkait keamanan dan keselamatan perairan maupun pencemaran perairan semakin banyak dibahas dalam kerangka membangun sistem yang mampu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan transportasi perairan tersebut. Termasuk di dalamnya meminimalisir kemungkinan resiko terjadinya kecelakaan perairan, baik kapal tenggelam, kandas, terbakar, terbalik, tabrakan, dan lain sebagainya “, demikian diungkapkan oleh Pemerhati Keamanan dan Keselamatan Perairan Dede Farhan Aulawi ketika berbincang – bincang di Jakarta, Senin (29/6).
Ketika berbicara hal tersebut, Dede menjelaskan bahwa landasan hukum yang menaungi jaminan keamanan dan keselamatan dalam pelayaran sebenarnya telah diatur dalam UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dimana undang-undang tersebut menjelaskan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Ketentuan ini pada dasarnya memiliki harapan agar kecelakaan perairan bisa dicegah atau paling tidak bisa semakin diminimalisir. Oleh karenanya, peran Polisi Perairan (Polair) seyogyanya semakin dioptimalkan agar bisa berperan lebih banyak dalam kerangka pelaksanaan amanat undang – undang tersebut.
Jika diamati menggunakan pendekatan Root Cause Analysis, kecelakaan diperairan setidaknya dipengaruhi oleh faktor teknis, non teknis dan faktor manusia. Faktor teknis contohnya kekurangcermatan di dalam desain kapal, penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan bagian-bagian kapal atau pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan atau prosedur yang ada.
Sementara terkait faktor non teknis misalnya faktor cuaca buruk seperti badai, gelombang tinggi yang dipengaruhi oleh musim atau badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas. Ketiga, faktor manusia. Kecerobohan di dalam menjalankan kapal, kekurangmampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, secara sadar memuat kapal secara berlebihan. Lebih detail bisa dijelaskan dengan teori “Human Factors in Ship Operation”. Ada banyak faktor manusia dalam kejadian insiden ataupun kecelakaan perairan. Menurut 'Safety & Shipping Review' terbaru yang dilakukan oleh Allianz Global Corporate & Speciality (AGCS), human error menyumbang 75% dari 15.000 klaim asuransi kewajiban laut yang dianalisis selama lima tahun terakhir. Di samping itu juga terkait safety management System yang belum banyak diterapkan secara maksimal. Ujar Dede.
Kemudian ada dua hal utama yang menyangkut keselamatan dan keamanan kapal yang belum dimuat dalam UU Pelayaran. Pertama, tidak adanya ketentuan yang mencantumkan mengenai batas muatan kapal. Batas muatan kapal adalah sesuatu yang paling penting untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran, kelebihan muatan suatu kapal bisa menjadikan kapal itu overcapacity atau kelebihan muatan yang berisiko mengganggu keseimbangan kapal, sehingga mengakibatkan kapal tenggelam. Kedua, tidak adanya ketentuan mengenai jumlah sekoci penolong dan alat keselamatan lainnya yang harus ada di kapal. Ketika kapal sudah mengalami gejala-gejala akan terjadinya kecelakaan, sekoci penolong dan berbagai alat keselamatan lain menjadi kebutuhan utama untuk menyelamatkan nyawa para penumpang dan awak. Oleh karenanya tidak heran jika banyak kapal yang menyediakan sekoci dan alat-alat keselamatan lainnya dalam jumlah yang sangat terbatas, sehingga saat cuaca buruk resiko terjadinya kecelakaan yang memakan korban relatif tinggi karena alat-alat keselamatan yang sangat terbatas tadi.
Disamping UU yang disampaikan di atas, sebenarnya masih ada beberapa regulasi yang terkait dengan keselamatan penumpang kapal laut, seperti Peraturan Menteri Perhubungan No.25 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, Peraturan Menteri Perhubungan Tahun 20 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan. Jadi jika berbicara terkait regulasi yang mengatur layanan transportasi penumpang dengan kapal laut dinilai sudah cukup dan sudah disesuaikan dengan standar internasional, hanya saja pelaksanaan regulasi tersebut belum berjalan dengan baik. Dengan demikian perlu upaya untuk meningkatkan awareness terhadap operator-operator transportasi perairan untuk memenuhi segala ketentuan dan peraturan keamanan dan keselamatan transportasi perairan yang sudah ditetapkan.
Apalagi jika merujuk pada UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya. Dengan demikian semua orang yang memanfaatkan jasa transportasi perairan, baik sebagai pengangkut barang atau orang pada hakikatnya memiliki hak jaminan atas keamanan dan keselamatannya.
Persoalan kemudian adalah selalu di masalah implementasi yang masih menjadi kendala dengan segala atribut permasalahannya. Contohnya coba perhatikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan. PP tersebut pada hakikatnya mewajibkan bagi setiap kapal untuk memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang meliputi keselamatan kapal, pengawakan kapal, manajemen keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran dari kapal, pemuatan dan status hukum kapal. Juga diatur tentang tindakan untuk keselamatan di atas kapal, yaitu kapal harus dilengkapi dengan alarm darurat umum, anak buah kapal harus terlatih apabila terjadi musibah atau meninggalkan kapal, petugas yang melakukan dinas jaga pertama harus mendapatkan waktu istirahat yang cukup, latihan peran kebakaran, peran kebocoran, peran pertolongan orang jatuh ke laut dan peran meninggalkan kapal dilakukan satu kali dalam satu minggu atau paling sedikit satu kali dalam pelayaran jika lama berlayar kurang dari satu minggu. Selanjutnya, bagi kapal-kapal yang mengalami kecelakaan diatur bahwa hasil pemeriksaan kecelakaan kapal harus dievaluasi dan dinilai dengan tujuan meningkatkan penyelenggaraan keselamatan kapal, menentukan apakah sertifikat yang bersangkutan masih dapat diberlakukan dan menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
“ Petugas Syahbandar sebagai wakil pemerintah di pelabuhan, semestinya tidak memberikan surat izin berlayar sebelum kondisi kapal dan muatannya benar-benar selesai dilakukan pemeriksaan mulai dari perlengkapan sekoci, pelampung dan alat keselamatan lainnya. Syahbandar dan operator harus memiliki kesadaran yang sama untuk mentaati segala aturan untuk keselamatan bersama. Bahkan sertifikasi dan standarisasi armada dan SDM-nya, terutama Nahkoda sangat mendesak untuk diterapkan dengan ketat. Jangan main – main dengan keselamatan penumpang. No compromise with safety, and everybody must be follow the rule ”, pungkas Dede mengakhiri perbincangan. (R/ist/dfa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar