Bandar Lampung, jalosi.net - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Lampung mendesak pemerintah segera mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial. Langkah tersebut dinilai membatasi hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Sekertaris SMSI Lampung Juniardi menilai, kebijakan ini tak sesuai dengan pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi. Pihaknya menyadari bahwa langkah pembatasan ini ditujukan untuk mencegah meluasnya informasi yang salah demi melindungi kepentingan umum.
“Namun, kami menilai langkah pembatasan ini juga menutup akses masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu mendapat informasi yang benar, akses bisnis, termasuk informasi media siber,” kata Juniardi Jumat (24/5/2019).
Pasalnya selain menganggu komunikasi antar pengguna, langkah yang diambil pemerintah tersebut juga merugikan sejumlah kalangan diantaranya jurnalis dan pengguna aplikasi online lainnya.
“Bilamana ingin meredam sebaiknya dilakukan filter saja bukan dibatasi hingga dimatikan sampai tidak berkomunikasi. Dalam tahapan ini banyak yang dirugikan seperti para Jurnalis dan pengguna jejaring online dalam usaha. Kami minta Menkominfo segera memulihkan karena situasi juga saat ini sudah kondusif," katanya
Selain itu, Juniardi menilai bahwa kebijakan pemerintah soal pembatasan media sosial terlalu berlebihan dan kurang efektif. “Keputusan ini terlalu lebay dan terlalu berlebihan, karena justru masyarakat yang menjadi korbannya. Apalagi para provokator tersebut pasti sudah punya cara-cara menyiasati,” katanya.
Selain tidak efektif, kebijakan ini juga dinilai merugikan masyarakat secara luas. Harusnya Kominfo benar-benar bisa selektif hanya mengenai mereka-mereka yang dianggap biang masalah, bukan seluruh pengguna medsos di Indonesia.
penggunan medsos bukan hanya ada 100-200 orang, tapi pengguna sarana itu di Indonesia yang berjumlah 150 jutaan orang, dan menjadi korbannya semua.
Juniardi juga menyerukan kepada semua pihak untuk menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. Pihaknya menolak segala macam tindakan provokasi dan segala bentuk ujaran kebencian yang bisa menimbulkan kekerasan teramasuk hoax. “Karena itu bisa memicu kekerasan lanjutan serta memantik perpecahan yang bisa membahayakan kepentingan umum dan demokrasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Juniardi mendorong pemerintah meminta kepada penyelenggara media sosial untuk mencegah penyebarluasan berita hoaks, fitnah, secara efektif. Sikap ini harus dilakukan melalui mekanisme yang transparan, sah, serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Juniardi memahami langkah yang diambil oleh pemerintah dengan melakukan pembatasan terhadap aplikasi sejumlah media sosial beberapa hari ini. Namun, dia meminta agar pemerintah yakni Kemenkominfo dapat segera memulihkan akses penggunaan media tersebut.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk membatasi akses terhadap media sosial, khususnya fitur penyebaran video dan gambar pasca-aksi yang berujung kerusuhan sejak Selasa (21/5) malam hingga Kamis pagi.
Pembatasan akses ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam konferensi pers Rabu (22/5). Pemerintah merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum mengeluarkan kebijakan ini.
Wiranto mengatakan pembatasan yang bersifat sementara ini untuk menghindari penyebaran berita bohong di masyarakat tentang peristiwa beberapa hari belakangan ini. Pemerintah tidak memastikan kapan pembatasan ini akan dicabut, karena sangat bergantung terhadap situasi keamanan di dalam negeri. (R/jalosi/ist)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar