Foto/Dede Farhan Aulawi
Jakarta, Jalosi.net - Setiap Pemerintah Daerah memiliki konsep imajiner dalam merumuskan ide dan pemikiran untuk membangun daerahnya. Semua konsep imajiner ini dalam tataran akademis sering diterjemahkan dengan visi, misi dan program. Semua tentu hal – hal ideal yang sering dijadikan bahan dagangan untuk meraih suara dan mendulang kepercayaan saat – saat indah masa kampanye. Visi, misi dan program merupakan kosa kata yang setengah dipaksakan untuk memasuki pasar logik, meskipun dalam tataran praktik mayoritas pasar dalam mengambil keputusan politik sering kali ilogik. Lihat saja berapa persen suara yang memutuskan untuk memilih calon tertentu dilandaskan pada analisis dan nalar logik yang berbasis pada algoritma visi dan misi.
Mungkin para akademisi dan mahasiswa menuntut pagelaran politik yang dikemas dalam pentas “Debat Calon” agar tidak seperti membeli kucing dalam karung. Dalam nalar teori, argumen tersebut tentu 1000% benar. Tetapi jangan melupakan realitas pasar secara objektif, bahwa mereka memang suka memborong barang secara “karungan”, tanpa peduli tentang isinya apakah kucing, ayam, atau musang. Satu hal yang perlu diingat bahwa keputusan politik adalah realitas praktis, bukan pragmatisme akademik yang dapat diperdebatkan.
Menyadari hal tersebut, maka pertarungan politik tumbuh subur diantara keduanya, yaitu membangun dogma – dogma irasional dengan pendekatan nalar agar tampak seperti keputusan logik. Medan pertempuran politik di kalangan elit adalah medan pertempuran tanpa sekat, baik sekat teritori atau sekat waktu. Gempuran demi gempuran biasanya terus dilakukan tanpa lelah oleh kaum militan patriotik dengan kalkulasi simbiosa yang merupakan algoritmik yang sangat rumit untuk dipecahkan secara komprehensif.
Medan pertempuran visi dan misi sering kali jebol di garis pertahanan paling depan. Akhirnya agresi politik dilancarkan melalui gerilya “Ucapan” dan “Perbuatan”. Masing – masing pihak menyiapkan para sniper yang siap membidik secara tepat lawannya saat salah “mengucapkan sesuatu” atau salah “berbuat sesuatu”.
Jika lolos dari tembakan sniper politik, maka sudah disiapkan skenario alternatif dengan menggunakan misil balistik yang akan menggelegar memecahkan langit yang mulai rapuh. Misil – misil balistik darat, laut dan udara akan diluncurkan untuk menggempur posisi musuh. Artileri medan secara serentak maju terus menembus batas akhir pertahanan. Alutsista politik yang berbasis digitalisme merupakan peralatan canggih yang digunakan sejak awal untuk membentuk opini dalam meruntuhkan ego. Advokasi – advokasi diplomatik seringkali tampil begitu piawai di layar kaca. Saling serang kata – kata menjadi tontotan dan tuntunan yang biasa. Anak – anak yang masih balita dalam politik, terpaksa diajak dewasa untuk memahami ambisi tanpa kearifan.
Sudah saatnya para orang tua secara arif dan bijaksana membangun suasana panggung politik yang baik, karena yang menonton pentas politik di negeri ini bukan hanya orang dewasa. Kedewasaan dan ketauladanan dalam politik adalah warisan berharga buat anak cucu kita. Jangan wariskan kebiasaan mencaci danmembenci pada mereka. Ajarkan kasih sayang dan kesantunan dalam bertutur kata jika ingin membangun bangsa dengan penuh peradaban. Jauhkan bibit – bibit kebencian, dan mari kita tebarkan benih persatuan dan kasih sayang. (R/jalosi/ist/DFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar